Untuk Sebuah Sore Tadi

Mari Sayang,
Kita bicara sebentar.

Duduk tenang, melepas beban. Lapangkan hati untuk rasa yang biasa kita nikmati. Sementara, letakkan dulu sebentuk ego yang membungkus diri sehingga harganya jadi mahal sekali. Dan aku, aku janji tak akan menangis lagi.

Lihat sayang, sudah kuhapus airmataku. Tak tersendat lagi nafasku. Tak terbata kalimatku.

Genggam tanganku sayang. Ya seperti itu. Tak apa menari sesekali telunjukmu. Namun jangan lupa membuka hatimu. Karena aku tak hanya membutuhkan telingamu untuk mendengar gelisahku.

Pernahkah terbayang sayang,
Rasanya terbangun saat pagi dan tak lagi bisa mengirimkan pesan sekedar ucapan “selamat pagi, sayang”. Atau seketika menjadi canggung saat ingin sekali bertanya “Hari ini mau ngapain aja, sayang?” Pernah terbayangkah, sayang, saat semua yang sudah terlalu terbiasa kita awali dipagi hari terpaksa diganti? Sungguh, tak mampu membayangkan betapa kehilangannya pagiku.

Lalu pernah terlintaskah, sayang,
Rasanya bila tak ada lagi teman yang selalu bersemangat untuk berbagi nikmat Magnum sang ice cream kesayangan. Atau bila tak ada lagi teman bercanda yang mampu melupakan jauhnya jarak jogja-klaten demi semangkuk sup ayam kesukaan. Bila energi iseng berlebihpun, rasanya tak akan mampu menggerakkan kakiku untuk menyinggahi Kaliurang sekedar membeli tahu jadah dan ampyang. Tahu kenapa sayang? Karena tak akan sama rasanya bila tak ada kamu. Lidah ini seperti terlalu kaku untuk menelan. Hanya pahit saja dirasa.

Pernahkah sayang,
Kamu membayangkan tak ada lagi yang membacakan catatan kecil yang dituliskan untukmu. Tidakkah kamu akan merindukannya, sayang? Karena meskipun aku tau tak sering kau membaca catatanku, namun tak ada yang lebih menyenangkan dari membacakan sendiri catatan yang kubuat untukmu. Kadang aku malu membacakannya, kadang kamu tersipu mendengarnya. Tapi memang hanya kumpulan huruf yang tak seberapa itu yang mampu hati ini persembahkan.

Tidakkah kau ingin melakukannya lagi, sayang?
Tiba-tiba menjatuhkan tubuhmu dipangkuanku saat lampu merah menghentikan kemudimu. Tidakkah kau ingin melakukannya lagi? Bukankah kau selalu terbahak dengan keras setiap kali tahu kau berhasil mengejutkanku dengan gaya mendadak jatuhmu itu. Lakukan lagi ya sayang, nanti tanpa sepengetahuanku. Karena meskipun aku selalu cemberut dan menyerbumu dengan cubitanku karena tak mampu menahan jantung yang terkaget-kaget, tapi bukankah kita selalu menutupnya dengan tawa kita yang berderai. Lalu siapa nanti yang akan kumarahi karena menjatuhkan tubuhnya dipangkuanku, sayang? Ah, menuliskan ini saja membuatku menangis.

Kamu bilang aku cengeng, ya sayang. Sedikit-sedikit menangis. Tapi percayalah, hanya kamu yang paling sering memergokiku menangis. Tahu kenapa, sayang? Karena hanya kamu teman berbagi yang mampu menyempurnakan ceritaku.

Aku tak mampu membayangkan sayang,
Bila tak lagi bisa sesuka hati menelponmu untuk sekedar bercerita tentang perutku yang bertambah lipatan. Atau tak lagi bisa mendengar cerita tentang keponakan kesayanganmu yang lucu dan bandel. Pernah terbayang rasanya sayang, bila puluhan telpon berdering namun tak satupun memunculkan namaku di LCD mu. Maaf bila aku tak mampu membayangkan itu terjadi padaku, ya sayang. Rasanya tak cukup kuat aku menahan kecewa yang terlalu hebat. Terlalu pedih. Dan hanya suaramu yang menjadi mujarab.

Apa pernah terbayang sayang,
Mendengarkan track ke 3 itu tanpa suara anehku. Suara yang tetap berusaha bernyanyi demi obsesi berduet denganmu. Meskipun tak pernah sekalipun terlihat percaya diri saat bersenandung denganmu, tapi tak sanggup aku membayangkan bila harus mendengar lagu itu tanpamu. Tanpa suara berat meski hanya sesekali mengiringi. Masihkah lagu riang itu bercerita tentang sepasang jatuh cinta, sayang? Kenapa hanya kudengar lagu sedih sepanjang perjalanan kemudi yang menyiksa rindu.

Maaf sayang,
Bila membayangkanpun aku tak cukup mampu. Bila belum terjadipun sudah sesak nafasku. Lalu mulai mengambang air di mataku. Lagi.

Boleh kupinjam tanganmu, sayang.
Sebentar saja. Karena hanya milikmu itu yang mampu menghentikan aliran air mata.

Sementara cintaku,
Meski terkadang tak cukup berani, tapi dia tak pernah berhenti.

*catatan sebuah sore bersama lelaki kesayangan

June 6, 2009 at 1:10 am 2 comments

Sekedar waktu yang tak pernah sama

Menelisik persatu jalannya waktu yang lalu, membuat saya mengerti. Bahwa bumi tempat saya berpijak tak pernah berhenti berotasi.
Setiap menit berganti tanpa pernah sudi menengok kebelakang lagi. Langkah saya tak pernah berhenti sesekali walau apa terjadi. Dan lalu hati ini berubah raut sesuai isi. Kadang sepi, kadang gaduh, namun bahkan kadang tak pula berpenghuni.

Tubuh ini berevolusi sesuai suasana hati. Naik beberapa kilo saat sedang jatuh hati, lalu turun sedikit ketika patah hati. Timbangan yang tak pernah ajeg. Pasrah menikmati.

Beberapa titik tak lagi sama. Seiring pergantian cerita, saya belajar menjadi bisa. Dulu sekali, bahkan meneteskan obat tetes matapun saya tak bisa. Sekarang, bila temui abu warna iris mata, itu saya yang merekatkan softlens hanya dengan seketika.

Atau, dulu sekali, betapa jagoannya saya mendamaikan kesepian dalam diri saya. Nyaris untuk puluhan tahun. Namun tidak saya sadari pergerakannya, laun saya menjadi jinak pada bersama. Saya jatuh pada nikmatnya berdua.

Nikmat yang tak bermewah-mewah namun terasa wah. Sederhana saja. Sesederhana langkah yang seirama, berlari, berhenti dan saling menyemangati. Tertawa geli dan menjadi bodoh dengan suka hati, menangis bila terluka karena terlalu menyayangi, atau marah bila mulai merasa takut akan kehilangan yang tak muat ditampung lagi. Berbincang sampai larut lalu tertidur, terbangun dan seketika dilanda rindu yang tak mungkin bila dipendam dan tak diucap. Ritme yang setiap hari menyusup menjadi keseharian yang terlanjur menjadi bagian yang teraduk rata dalam saya. Menyatu tanpa ragu dan malu. Tanpa sekat yang serat dan berat.

Lalu maaf bila rasanya tak rela andai harus kembali sendiri, apalagi bila harus lagi-lagi bersahabat dengan sepi. Saya tak lagi sekuat dulu. Saya akui. Maka, andai Tuhan berbaik hati mengucap selamanya untuk hati yang tak lagi ingin merasa sendiri. Tak akan lupa saya ciumi sajadah dan berucap syukur tak berhenti.

Memang tak semua berubah, beberapa masih saja tertanam di akarnya. Namun saya tetap tak lagi sama. Dan tak ada penolakan dalam saya.

Berjalanlah waktu, mari saya iringi dengan harap dan mimpi perempuan yang mengabdi. PadaNya sang pemilikmu. Dan lalu pada rasa yang selalu saya tuliskan sebelumnya.

June 6, 2009 at 1:09 am Leave a comment

Jaketmu.

Malam yang merajai semesta,
Jangan mendongak.
Tak akan lebih dari 5 menit aku menyandramu.
Sebentar saja janjiku.

Begini,
Malam yang tak pernah sepi oleh pesona.
Aku mohon.
Tolong cukupkan dingin yang kau selimuti di sekujurnya.
Sudah menggigil ia.
Baru saja dinyalakan sebatang rokok agar terusir udara yang menggigit sendi tulangnya.
Usaha terbaik menurutnya.

Malam yang meruntuhkan sempurna cahaya,
Masih jauh perjalanannya.
Jadi bersahabatlah dengannya.
Bila untuk itu kau mau aku bersimpuh,
Akan kukerjakan.

Dimana kau letakkan pengatur suhu udaramu, Wahai Malam sahabat pecinta surga.
Ingin kupinjam dan kumainkan agar terasa hangat sedikit saja.

Maaf bila aku banyak meminta,
Semoga lain waktu ku tak lagi datang merengek padamu.
Karena sudah kubilang padanya,
“Besok lagi, Jangan lupakan Jaketmu”

Berdoalah agar ia selalu ingat 🙂

June 6, 2009 at 1:09 am Leave a comment

Lelaki Kesayanganku dan Lelaki Kesayanganmu

Lelaki kesayanganku,
Maaf ya, lagi-lagi jemari ini menulis tentang kamu. Tak tahan untuk tak bercerita tentang setiap kerikil dan batu besar yang menghiasi duniamu. Telapak kakimu kasar atas perjalanan yang ribuan mill terlewati. Keras sekali. Hebatnya, tak kudengar keluhan ditelinga kanan dan kiri. Tak pula sesekali.

Meskipun hingga kini tak juga kutemukan barisan kata yang mampu melukiskan kekagumanku,boleh aku mencatatnya, lelaki? Sedikit saja. Aku Janji.

Lelaki kesayanganku,
Ada hal yang melukaimu di masa lalu. Saat aku belum bersamamu. Saat hanya angin yang sayup menyampaikan berita sendu. Kamu tertatih tanpaku. Kamu ditandu oleh cinta perempuan yang bukan aku. Tak apa, aku mengerti sayangku. Ini kan tentang masa lalu:)

Cerita tentang kecewamu. Tentang lelaki kecil yang kekagumannya terhempas oleh kenyataan. Bahwa tak seorangpun sempurna didunia. Tak juga lelaki itu. Lelaki yang kukagumi hanya dari ceritamu. Lelaki kesayanganmu. Lelaki yang kau panggil, Bapak.

Cerita itu tak pernah lengkap kudengar dari bibirmu. Entah kenapa bahkan tak mampu kulegakan telingaku. Hanya karena mataku terantuk pada mata sayumu yang meredup sekejap waktu. Jelas kulihat Rindu disitu. Dibalik kelopak yang tak mampu kamu tutupi dengan tawamu yang mengguncang bahu.

Sering sekali bukan, lelaki, kamu selipkan cerita tentang dia sehari-hari. Lelaki tua yang keras kepala dimatamu. Lelaki yang tak pernah terang2an berani kau akui menjadi idolamu. Kenapa memangnya, sayang? Sedikit gentarkah kamu pada pusaran kenangan yang terlalu hebat membawamu ke masa lalu. Saat kebencian terlalu bervolume hingga maaf nyaris terlambat terucap. Lalu sekarang menyisakan jejak penyesalan. Andai saja maaf lebih cepat meluluhkan keras hatimu yang seperti batu karang di pinggir jurang.

Beberapa kali sempat kau bilang, betapa inginnya kamu melihat lelaki itu tersenyum untuk dirimu yang sekarang. Yang mampu berpijak diatas kakimu sendiri. Menjadi seperti dirinya yang mengagungkan dunia seni. Yang bangga dan terberkati oleh lantunan melodi dari hati. Namun, lalu kamu sangat mengerti, tak semua yang kau ingini bisa kau miliki. Tertangkap olehku dibalik semburat gelap kau tersenyum sendiri. Cukup doa yang kau ucapkan dalam hati. Dan tangan yang hangat kau rentangkan ketika dia mengunjungimu dalam mimpi. Lalu, tak ada lagi yang kau sesali.

Percaya padaku lelaki, saat ini bapak pasti sedang membanggakanmu pada malaikat2 baik yang menjaganya. “Lihat malaikat, anak lelaki yang kuat dan hebat itu anakku”

Lelaki kesayanganku,
Aku tahu kekuatanmu jauh lebih besar melebihi tubuhmu. Ketegaranmu jauh lebih keras dari suaramu. Tapi tak seorangpun kebal lelah. Tolak Angin sidomuncul terkadang tak mempan juga mengusir angin bandel di tubuhmu, bukan? 😉

Lelaki kesayanganku,
Lelaki yang kuat bukanlah lelaki yang tak terbatuk meski menghabiskan belasan puntung rokok setiap hari. Bukan yang berbadan kekar atau berjambang sangar. Bukan juga yang tak pernah menangis meski setetes. Tetapi lelaki yang tak pernah menyerah saat pilihan tidak mudah. Lelaki yang tak pernah puas belajar untuk menjadi lebih baik. Seperti itulah kamu di mataku.

Kemarin saat matahari mulai tinggi, bercerita kamu tentang sebuah mimpi. Tentang percakapan rindumu pada lelaki yang kau sebut Bapak. Nafasmu sesak saat terbangun, dan kau dapati matamu basah. Lelaki kesayanganku, tak apa sesekali kau sandarkan lelah kerinduanmu. lalu menangislah dipundakku. Akan kubiarkan kau begitu. Tak apa bila kau jatuh tertidur. Akan kubangunkan bila sudah waktunya kau mulai bernyanyi lagi. Tak perlu malu padaku.

Lelaki kesayanganku, lelaki hebat bukan berarti tak pernah salah, meski bukan pula yang selalu mengalah. Bukan yang tak pernah terjatuh setiap melompat. Tetapi lelaki yang selalu mau berusaha bangkit berdiri ketika terjatuh. Dan kamu begitu bagiku. Kamu hebat. Ayo, sayang. Melompatlah lebih tinggi.

Lelaki kesayanganku,
Jika lidahmu masih terasa kelu mengucap kata rindu, biarlah aku yang sampaikan rindu dalam untaian surat Yasin yang suci. Nanti. Ketika kamu mengajakku mengunjungi makam bapak di Kota Gede.

June 6, 2009 at 1:09 am Leave a comment

Seperti Udara

Tak apa meski aku bukan mukjizat,
Sekedar ingin memeluk hati yang menangis dan menyeka keringat.
Aku tahu kau sungguh merasa penat.
Maka tarik nafasmu sesaat.
Biarkan aku mengitari sadar dan bayangmu,
tak pernah berhenti berputar meski sesaat.

Seperti udara.

June 6, 2009 at 1:09 am Leave a comment

Langit Kelabu Untuk Kotaku

Langit Kelabu yang menunggu bulan berbinar semu,
Semalam aku tak mampu menghapusmu dari tidurku. Bahkan rapat2 mengisi otakku. Menari gemulai tanpa malu-malu.
Tak Salah lagi. Itu kamu, Langit Kelabu.

Kamu belum berubah ya, Langit Kelabu. Masih tak suka uap panas dari makan malammu. Sabar menunggu sampai dingin. Lalu masih juga kamu tiupi sesekali meski aku yakin sudah dingin. Kamu ini, lucu sekali Langit Kelabu. Entah kenapa suka mencampur makananmu. Kamu bukan sedang makan bubur kan, Langit Kelabu 🙂

Caramu tertawa dan bercanda tetap segar seperti dulu. Ya, nikmat rasanya waktuku bersamamu. Sikapmu juga belum berubah, belagu kata anak sekarang. Hahaha, tak apa. Toh tak juga meruntuhkan kekagumanku pada pesonamu yang terbalut kemeja bergaris favoritmu. Ya, mungkin aku yang berlebihan. Mungkin saja ini sekedar sebentuk rindu.

Kamu kembali lagi, Langit Kelabu. Ya, memang bukan untukku. Aku tahu itu. Seperti biasa. Kamu tak pernah benar2 pergi untukku, dan tak pernah benar2 kembali untukku 🙂

Langit Kelabu yang berdendang lagu rindu, apa maksud senyummu? Kenapa mata yang tak berkedip itu menyesakkan nafasku. Lalu mukaku seolah merah oleh rasa malu yang sungguh tak kuijinkan berlama2 menyandra akal sehatku. Jatuh cinta lagi kah aku padamu, Langit Kelabu?

Andai saja aku tahu..

-Saat setiap jengkal tanah kota ini bersorak untuk sebuah nama-

June 6, 2009 at 1:05 am Leave a comment

Hati di Hari Senin

Hai,
Selamat pagi,
Semoga nyenyak tidurmu semalam, sayang.

Lihat,
Pagi ini aku hadir dengan sebuah hati yang kubingkiskan untukmu.
Hati dengan pita merah jambu.
Dengan kartu mungil bertuliskan “milikmu”

Oya, coba sentuh sebentar.
Ada malaikat kecil berbaju hangat yang kuselipkan didalamnya.
Kutitipkan pesan padanya untuk menjaga hatimu.
Agar tersabarkan marahmu.
Agar ditenangkan langkahmu.
Dan tentu saja, agar selalu hadir segala tentangku yang nakal tak mau pergi dari otakmu 🙂

Masuklah, sayang.
Jangan khawatir, kusediakan tempat yang luas untukmu.
Agar kita bebas berlari dan berkejaran.
Terjatuh dan bergulung-gulung dibawah matahari.
Tak perlu berhenti karena terantuk dinding yang membatasi.
Tenanglah,
Untukmu,
Hatiku lapang tak bersudut.

Sayang, matahari mulai tinggi.
Waktunya kita memeras keringat lagi.
Nanti, ketika kamu membutuhkanku untuk sekedar bercerita tentang menu sederhana di saat break makan siangmu,
Telphone saja aku.
Akan aku ceritakan betapa rindunya aku 3 jam berpisah denganmu.
Lalu,
Silahkan teguk lagi Coca-Colamu 🙂

Sayang, sudah dulu ya.
Selamat hari senin.
Aku mencintaimu seperti hari-hari kemarin.

May 25, 2009 at 5:33 am Leave a comment

Hareee genee ke kuncee di kamar mandeeee.. GOD HELP!!

Sumpah ya.. kali ini bukan cerita sedih.. apa lagi romantees…. huuuks

Jadi. Pagi ini rumahku yang kecil dan hangat itu sudah mulai terasa cukup hiruk pikuk. Kak Naya, keponakanku, akan lomba drumband cilik di GOR UNY. Dari pagi Cak Sari, kakakku uda mulai ngebangunin masa untuk siap_siap. Sebenernya di rumah kami ada 3 kamarmandi. 2 dibawah 1 diatas. Tapi seringnya kami males pake kamar mandi atas. Kamarmandi yang di belakang juga jarang dipake.

Karena aku menjadi tertuduh utama pemakai kamarmandi paling luamaaaa, maka akupun terpaksa menjalankan perintah mandi di kamarmandi Belakang.. Yah, mungkin aku emang jarang d rumah si ya, ato kurang perhatian ama rumah.. makanya nasib naas itu menimpaku..

Abis mandi ala kadarnya, karena mau sok2an begaya ala ida iasha ga mampu.. Aku pake anduk yang ga ber-“Budi”.. karena liat mukanya ditipi aja geli apalagi kalo diliatin langsung.. Dengan gaya balerina males diet aku buka pintu..
“ceklek ceklek” kunci kamar mandinya ga bergerak, bo!
ceklek ceklek lagi.. hiks.. tetep ga bergerak.. Mati deh. kekunci beneran.
selanjutnya sibuk di dalem kamar mandi ceklek ceklek doang tapi pintunya ga kebuka-buka juga.. Ah.. dasar kau angkuh!!! pintu durhakaaaa!!

Yeaaah, u r rite. aku kekunci di kamarmandi. Nista. Nestapa. mulai panik dan meneriakkan satu persatu nama manusia yang didalem rumah.. Mendadak kayak vokalisnya jamrud karena uda ga bisa melafalkan huruf “i” dengan benar sangking paniknya. hiks..
“Dek Arlaaa…Caaaak Sareeeeee.. Mas edoooo.. Mbak Umeeee… Mbak SReeee.. Barneeeeey.. (boneka besar warna ungu terong punya arla yang tetap lincah berjoget walo berbadan besar)”

Dari dalam kamar mandi mulai kedengeran suara riuh ga renyah-renyah amat di luar..
Cak Sari yang Hamil 5 bulan: “yaaaaaaah… dek santi kekunci di kamar mandi…yaaaahhhh…”
Mas Edo: “lho tii.. ngapain kamu kunci kamar mandinya kan ga bisa dikunci???” Dalam hati menjawab.. huhuuuu kalo tau ga bisa dikunci ga bakalan aku kunci laaaah maaas 😦
Arla: “antii… antiii.. antiii” keponakanku itu serius menyemangatiku seolah olah tantenya sedang seru ikut lomba karapan sapi di dalam kamar mandi..
ato mbak Sri dan mbak Umi yang asik kasak kusuk investigasi, seperti :’Lho kok mbak santi iso ke kancing too??” “opo ora ngerti nek pintu ne ora iso di kancing”
Hiiikksss… mesti bilang berapa kali siiiii.. kalo tau ga bisa dikunci ya aku ga bakan ngunci pintu.. Emang apa asiknyaaa ngunci diri di kamar mandi.. *hosh hosh* emosi.com

Setelah dengan perjuangan beberapa saat. Mengikuti saran mas edo untuk Neken pintu, tahan, tarek kuncinya.. pokoknya semacam tuntunan itulah.. Lalu Baca berbagai macam doa dari mulain dari ayat kursi ampe ayat2 cinta, Dengan rahmat Allah yang maha Esa ahirnya aku bisa keluar dengan keringet segede_gede jeruk lokam turun harga di indogrosir. Tak kuasa aku menahan haru begitu keluar kamar mandi.. Massa menyambutku dengan luapan haru…
dan Arla pun berhambur kearahku dan berucap innocent..
“selamat ya antiiii..” Oh iya sayang.. Rasanya memang perlu anti mu ini diberi ucapan selamat setelah lolos terkurung di kamar mandi. LEGA bin BAHAGIA binti TERHARU. Seperti abis lulus ujian dengan NEM tertinggi tingkat propinsi -emmm, belum tau rasanya si, karena belum pernah juga hehehe.. tapi anggep aja rasanya begitu-

Hiiiiuuuuuuhh… sia sia deh udah mandi jadi keringetan lagi gara2 kekunci di kamar mandi.. ato aku harus mandi lagi??? ah bercandaaaa kamu sayang, tentu tidaaak laaaah!!

May 23, 2009 at 7:48 am Leave a comment

Mata yang Meredup

Tidak seperti malam biasanya. Saya tak memperpanjang percakapan. Karena sudah cukup keruh warna rasanya, tak perlu saya aduk lagi agar lebih keruh.

Saya putuskan. Menelan segala ego saya. Meski terlampau bulat dan terasa pahit. Menyimpan pembelaan saya. Tidak ada kata tidak. Lalu Mengubur airmata saya. Tak akan berguna. Saya ucapkan selalu saat nyaris terjatuh beningnya setetes.

Saya perempuan. Kesabaran maha hebat tersembunyi dibalik senyuman. Berulang kalimat itu coba saya yakinkan. Saya membaca Al fatihah dalam hati, entah untuk berapa kali. Hanya agar saya tak sempat membantah lagi.

Demi tuhan, saya mohon maaf. Saya lelah sekedar mengaku salah. Saya malu mengidamkan pengakuan. Bahwa cukup keras usaha saya. Kasar telapak kaki saya. Terlalu sering saya memaksanya berlari.

Saya menyesal. Hanya ini yang saya punya. Kalau kau meminta lebih, saya sungguh tak ada. Habis, saya berikan semua untukmu. Namun bila belum lega tenggorokanmu, tolong beri saya waktu. Menelusuri liku untuk mata airmu.

Dengar. Bila malam memang sudah semestinya menghitam. Paling tidak, tak akan saya biarkan malam kami terlampau gelap. Biarlah seberkas binar saya berikan dibalik bulan.

Jadi maaf sayang, bila meredup mata saya malam ini.

May 23, 2009 at 5:51 am Leave a comment

Di Perjalanan Malam

Menikmati setiap titik waktu seolah tak kenal pada rotasinya yang diluar kendali. Melepaskan rasa seperti balon gas yang dilepas ke udara. Hanya ada kami. Berdua saja.

Tak pula ada sentuhan yang berlebihan. Tercukupkan jemari saling genggam. Memberi spasi pada rapatnya beban yang melelahkan.Melegakan. Memulihkan.

Sekedar cerita yang mengalir tak putus-putus. Tentang masa yang belum juga terjamah, namun kami tetap ingin melangkah. Tentang mimpi. Tentang pangeran-pangeran dan putri kecil kami yang cantik. Tentang tangan2 mungil mereka yang akan mensucikan dosa kami dengan doa2nya. Tentang mereka yang akan mempercantik rumah kami dengan langkah kecilnya. Dengan larinya yang kadang lincah, kadang terjatuh. Mungkin mereka akan menangis, tapi lalu segera berhenti ketika kami hadiahi ice cream vanila coklat kesukaannya. Yang ini khayalannya sih, katanya terinspirasi dari kesukaan saya yang mungkin saja akan menurun pada putri kecil kami.

Cerita khayalan yang tak seindah negeri dongeng milik Nirmala. Tapi kami akan cukup bahagia berlindung bersama di rumah sederhana. Rumah putih berdesign Kuno mirip rumah jaman Belanda, dengan tanaman rambat dan lampu sorot di tamannya. Rumah yang sempurna oleh cinta manusia yang mendiaminya. Tapi ketika khayalan itu mengerucut pada pertanyaan kapan terwujudnya. Kami hanya tertawa. Sepakat bahwa biarlah itu hanya menjadi rahasia tuhan dan bala malaikatnya. Kami merapatkan nafas kami, menyatukan arah dan tujuan kami. Memohon agar diberi cukup waktu untuk mewujudkan mimpi kami.

Pernah merasa rindu bahkan saat masih duduk berdampingan? Saya pernah. Dia pun pernah. Tepat disaat itu kami merasakannya. Saat kami menghabiskan waktu berputar mencari ujung jalan sambil menertawakan kisah lalu kami yang cukup seru dan lucu.

Saat saya menyandarkan kepala disampingnya meskipun kepala saya tidak terasa berat. Saat dia membelai rambut saya dengan sebelah tangannya. Saat dia perlahan berkata “Dek, lihat keluar. Bulannya bagus. Full Moon”

Ya. Memang indah. Saya mengamatinya dari balik jendela. Sementara kendaraan kami terus melaju. Hendak menambatkan rindu di ujung jalan. Lalu kembali meneruskan perjalanan panjang yang mungkin terjal dan berliku. Ketika mimpi melambai-lambai memohon agar segera diwujudkan.

Hari ke 183 di perjalanan malam, saat dunia seolah hanya milik kisah saya dan kisahnya.

May 23, 2009 at 5:50 am Leave a comment

Older Posts


warna-warniku

yang menghampiri

  • 44,899 pasang kaki